Solo –
Solo, kampung halaman mantan presiden Jokowi ternyata pernah dilanda banjir besar pada tahun 1966. Saksi bisu peristiwa itu ada di sebuah bangunan gereja.
Berdiri sejak 1832, Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Penabur Solo menjadi saksi bisu terjadinya banjir besar di Kota Solo 1966.
Bangunan yang masih berdiri kokoh itu baru saja ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Solo.
Sekretaris Panitia Pembangunan Perbaikan Atap Gereja, Neftali Saekoko, mengatakan GPIB dulunya dibangun era Belanda. Di mana saat itu, lantaran tentara Belanda yang biasanya beribadah di Benteng Vastenburg.
“Kenapa gereja ini dibangun, ketika itu tentara Belanda yang sebelumnya gereja di dalam Benteng Vastenburg merasa sudah aman dengan kondisi sekitar, sehingga buatlah gereja ini,” katanya ditemui awak media di GPIB, Jalan Jendral Sudirman, Solo, Jumat (6/12).
Dirinya menyebut, dulunya GPIB mempunyai nama De Protestansche Kerk in Nederlandsch Indie atau Gereja Protestan di Indonesia. Gereja tersebut dulunya hanya diperuntukkan bagi tentara Belanda dan keluarga. Namun seiring berjalannya waktu, GPIB dibuka untuk masyarakat umum.
“Untuk yang ditujukan di sini adalah tentara Belanda kolonial dan keluarga yang bertempat tinggal di Benteng Vastenburg, mereka dipersiapkan bergereja di sini. Tahun berjalan, masyarakat sekitar ikut bergereja di sini,” jelasnya.
Menurutnya, selain jemaat GPIB, jemaat yang di Gereja Purbayan yang merupakan Gereja Katolik menggunakan tempat di GPIB. Ia menyebut, Gereja Purbayan baru berdiri sekira tahun 1910
“Jemaat dari Gereja Purbayan juga pernah beribadah di sini, mereka pinjam gereja untuk ibadah. Kenapa dibangun, karena tentara Belanda sudah merasa aman di luar. Maka dibuat gereja ini untuk beribadah,” bebernya.
Ia mengatakan, GPIB mengalami perubahan bentuk karena terkena banjir besar pada 1966 di Kota Solo. Sehingga merusak bagian besar bagian yang ada di depan.
“Dulu tidak seperti ini, kenapa ini berubah karena terjadi banjir besar pada tahun 1966 di Kota Solo, itu yang merusakkan besar bagian depan gereja ini,” ungkapnya.
Bahkan, kata Neftali, kursi-kursi besar yang ada di gereja tersebut ikut hanyut hingga ke Pasar Gede. Sedangkan jarak gereja dengan Pasar Gede 300 meter.
“Bahkan kursi besar hanyut sampai tugu jam pasar Gede. Sehingga yang depan Gereja tidak asli lagi, yang asli hanya bagian belakang serta ubinnya masih asli,” bebernya.
“Dari mimbar ke belakang itu masih asli, restorasi sudah kita lakukan 1902 dan 1904. Terakhir 1978 yang dilakukan sendiri,” lanjutnya.
Dirinya mengaku tidak tahu apakah ada barang yang hanyut saat banjir besar tahun 1966 itu.
“Kalau itu belum tahu ada yang terbawa atau tidak. Yang jelas kursi itu hanyut sampai tugu jam Pasar Gede,” terangnya.
Selain itu yang masih menjadi saksi banjir besar di Kota Solo yakni lonceng di GPIB. Menurutnya, lonceng tersebut sebelumnya berada di depan Gereja.
“Lonceng itu menurut sejarah dibuat dua unit. Satu ada di sini dan satu ada di Jakarta atau di mana. Sejak awal berdiri, dulu berada di samping, tapi dirubah lonceng berada di menara gereja,” ucapnya.
“Lonceng itu dibunyikan setiap mau ibadah, sebagai bentuk panggilan untuk beribadah, jam 8 pagi setiap hari Minggu,” lanjutnya.
Menjadi gereja tertua di Solo, ia mengaku jemaat yang bergabung kebanyakan juga sudah berusia senja alias sudah sepuh-sepuh.
“Jemaat dari mana saja dipersilakan, tapi kalau yang sudah di sini 125 hingga 150 kepala keluarga. Karena gereja tua, jemaat juga sudah sepuh-sepuh, biasanya satu kepala keluarga satu orang, misal tinggal bapaknya saja, tinggal ibunya saja,” pungkasnya.
——-
Artikel ini telah naik di detikJateng.
(wsw/wsw)