Cirebon –
Awal abad ke-20, pelabuhan Cirebon ramai didatangi kapal-kapal besar. Namun kedatangan mereka justru membawa malapetaka, kedatangannya membuat kematian massal.
Kisah tentang kapal itu tercantum dalam jurnal ilmiah bertajuk Belajar dari Wabah Sejarah di Cirebon (2020) karya Tati Rohayati.
Kala itu, pada tahun 1915 penyakit pes pertama kali melanda Cirebon. Diduga, bibit wabah penyakit pes dibawa oleh kapal-kapal yang berlabuh di Pelabuhan Cirebon.
Sebelumnya, kapal-kapal tersebut singgah terlebih dahulu di Semarang dan Tegal. Kedatangan kapal yang membawa bibit penyakit pes di Cirebon, menyebabkan pelabuhan Cirebon menjadi pintu masuk wabah pes di Jawa Barat.
Dalam surat kabar Algemeen Handelsblad edisi 30 Januari 1930 menyebutkan, pada tahun 1923 wabah pes menyebar di Jawa Barat, dari mulai Cirebon, Kuningan, Majalengka, Ciamis, Tasikmalaya, Garut dan Bandung.
Menurut surat kabar tersebut, wabah pes akan semakin mudah menyebar ketika memasuki musim hujan.
“Kasus pes kadang-kadang dapat terjadi dan angka kematian yang lebih tinggi pun bisa sangat besar. Dapat dikatakan bahwa wabah ini menyebabkan korbannya yang berada di daerah pegunungan lebih tinggi terkena wabah, dan lebih jauh lagi, terdapat hubungan yang jelas antara wabah dan musim hujan. Pada musim barat, menurut para dokter, jumlah korban jauh lebih banyak dibandingkan pada musim timur,” tulis surat kabar Algemeen Handelsblad edisi 30 Januari 1930.
Dalam surat kabar Algemeen Dagblad edisi 9 Mei 1950, menyebutkan tentang gejala orang yang terkena penyakit pes.
“Terjadi pembengkakan kelenjar yang besar di leher, di bawah ketiak, di selangkangan yang bernanah dalam waktu singkat. Infeksi umum kemudian berkembang, yang dengan cepat menyebabkan kematian,” tulis Algemeen Dagblad edisi 9 Mei 1950.
Pada tahun 1927, di Cirebon ada ribuan orang yang meninggal karena wabah pes, seperti yang dipaparkan dalam surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 28 Januari 1935.
“Setelah wabah pertama kali terdeteksi di kota-kota pelabuhan besar pada tahun 1911, dibutuhkan waktu cukup lama sebelum Cheribon diserang oleh penyakit mengerikan ini, karena kasus pertama baru dilaporkan di sini pada tahun 1922. Kemudian menyebar, dan pada tahun 1927 sebanyak 1.147 orang meninggal karena penyakit ini,” tulis surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 28 Januari 1935.
Orang Eropa Juga Kena Pes
Tak hanya dari kalangan pribumi, orang Eropa yang tinggal di Cirebon juga terkena wabah pes, seperti yang dikabarkan dalam surat kabar Twentsch dagblad Tubantia en Enschedesche courant edisi 12 November 1931.
“Meninggal karena wabah. Laporan dari Cheribon, seorang anak Eropa meninggal di sini karena penyakit pes,” tulis Twentsch dagblad Tubantia en Enschedesche courant edisi 12 November 1931.
Meski pada tahun 1927, yang meninggal akibat wabah pes mencapai ribuan, tetapi pada tahun 1930 an, wabah pes mulai mengalami penurunan jumlah kasus, seperti yang dipaparkan dalam surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 28 Januari 1935.
“Karena pengendalian yang ketat, jumlah kasus menurun secara signifikan pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1932 ada 213 kasus, 1933, 40 kasus dan 1934, 28 kasus. Dinas kesehatan sipil (DVG) kini sebenarnya telah membendung penyakit tersebut,” tulis surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 28 Januari 1935.
Pemerintah Hindia Belanda Melawan Pes
Turunnya angka kasus wabah pes, tidak lepas dari upaya pemerintah Hindia Belanda dalam menangani wabah di Cirebon, seperti membuat lembaga khusus untuk menangani wabah pes, bernama lembaga pemberantasan pes (pestbestrijding). Lembaga tersebut diisi oleh para dokter yang bertugas untuk memberi penanganan dan pencegahan wabah pes.
Ada beberapa kebijakan yang dilakukan lembaga pemberantasan pes, seperti merenovasi rumah yang kumuh yang menjadi sarang tikus penyebab pes, seperti yang dipaparkan dalam surat kabar De Locomotif edisi 6 Februari 1930.
“Pekerjaan perbaikan rumah untuk pengendalian pes di kediaman Cheribon (Kabupaten Kuningan dan Majalengka) telah selesai. Di Kabupaten Kuningan, 34.700 rumah telah terbebas dari hama dan di Kabupaten Majalengka 17.450 rumah,” tulis De Locomotif edisi 6 Februari 1933.
Karena banyaknya kasus wabah pes di Cirebon, dokter pemerintah daerah Hindia Belanda, yang bernama H.F Fischer mengeluarkan surat khusus yang ditujukan untuk menangani wabah pes di Cirebon, seperti yang dipaparkan dalam surat kabar Batavia Niuwsblad edisi 3 Oktober 1938.
Dalam suratnya, dokter H.F Fischer menyebutkan, bahwa penyebab wabah pes berasal dari bakteri kutu yang ada pada tikus, oleh karena itu, Fischer menyarankan untuk segera membasmi tikus-tikus tersebut.
“Namun sejauh ini faktor yang paling penting adalah invasi tikus selokan yang besar dan kuat. Tikus rumah pemanjat yang baik tidak punya pilihan selain melarikan diri ke atap dan loteng. Masyarakat membasmi tikus selokan dengan memasang perangkap, racun, dan lain-lain, maka tikus rumah pada akhirnya akan mengalami kepunahan,” tulis Batavia Nieuwsblad edisi 3 Oktober 1938.
Setidaknya ada sekitar empat cara dari dokter H.F Fischer untuk mencegah penyebaran wabah pes di Cirebon, pertama, pemusnahan dan pembunuhan tikus, kedua, Isolasi bagi orang yang menderita penyakit pes dan juga keluarganya, ketiga, melakukan disinfeksi di rumah-rumah, dan keempat, melakukan perbaikan rumah, agar tikus tidak bisa bersembunyi dan berkembang biak.
“Teman serumah penderita diisolasi selama 8 hingga 9 hari. Meski keuntungan yang terkait dengan metode ini agak dipertanyakan. Namun, hal ini memungkinkan kita untuk mengenal penyakit ini dari dekat dan memberikan pertolongan secara rasional,” tulis Batavia Nieuwsblad edisi 3 Oktober 1938.
Menurut pegiat sejarah Cirebon, Putra Lingga Pamungkas, upaya lain dari pemerintah Hindia Belanda untuk menangani wabah adalah dengan membangun banyak klinik, rumah sakit dan vaksinasi.
“Pengurugan Kali Bacin, membangun rumah sakit Orange, membangun klinik-klinik, dan mensosialisasikan vaksin,” pungkas Lingga.
——
Artikel ini telah naik di detikJabar.
(wsw/wsw)