Jakarta –
Keputusan Indonesia kembali membuka keran ekspor pasir laut yang sudah 20 tahun dilarang disorot. Dampak lingkungan dipertanyakan.
Keputusan untuk membuka kembali ekspor pasir laut ditandatangani oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan melalui revisi dua Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag). Revisi itu mencakup Permendag Nomor 20 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 yang mengubah aturan tentang barang yang dilarang diekspor serta kebijakan ekspor.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Isy Karim menyatakan diizinkannya kembali ekspor pasir laut itu untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut serta tindak lanjut dari usulan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Jenis pasir laut yang boleh diekspor diatur dalam Permendag Nomor 21 Tahun 2024 yang merujuk pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47 Tahun 2024 tentang Spesifikasi Pasir Hasil Sedimentasi di Laut untuk Ekspor.
Padahal, ekspor pasir dilarang sejak 2002. Saat itu, Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri melarang ekspor pasir laut melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut.
Megawati melarang ekspor pasir laut demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas, yakni tenggelamnya pulau kecil.
Pada Selasa (17/9), Presiden Joko Widodo menyebut ekspor pasir laut tersebut untuk hasil sedimentasi di laut, bukan pasir laut.
“Sekali lagi, itu bukan pasir laut ya. Yang dibuka itu sedimen, sedimen yang mengganggu alur jalannya kapal. Sekali lagi bukan, kalau diterjemahkan pasir, beda lho ya,” kata Jokowi di Menara Danareksa, Jakarta Pusat, kemarin.
Ketua Umum Perkumpulan Program Studi Ilmu Lingkungan Seluruh Indonesia Dr. Suyud Warno Utomo, M.Si. yang juga dosen Sekolah ilmu Lingkungan UI sekaligus manajer penelitian dan kerja sama pusat penelitian SDM dan Lingkungan UI, mempertanyakan apakah peraturan itu dibuat melalui kajian yang komprehensif atau menyeluruh untuk ekspor pasir laut atau pun sedimentasi.
“Yang pertama, mestinya sebelum diimplementasikan, dikaji lebih dulu dampak lingkungan secara detail, kajian amdal, dan menimbang kerusakan lingkungan. Jangan salah, pasir di pantai itu jangan dilihat pasirnya, tetapi di sanalah habitat banyak biota laut dan terumbu karang. Ekosistem bisa terganggu,” ujar Suyud.
“Kalau memang itu sedimentasi, yang merupakan hasil endapan hasil aktivitas dari pertanian, perkebunan, pembangunan gedung dan rumah, dan apapun itu memang perlu dikeruk. Tetapi, sedimentasi juga diperlukan untuk media tumbuh mangrove. Makanya, baik itu pengerukan pasir laut atau sedimentasi sama-sama dibutuhkan kajian amdal dan tematik,” kata Suyud.
Suyud khawatir jika kajian mendalam tidak dilakukan potensi kerusakan alam yang diderita justru lebih besar ketimbang keuntungan ekonomi yang didapatkan. Dia mengaitkan dengan biaya pengawasan yang harus dilakukan pemerintah selama pengerukan pasir dilakukan.
“Di satu sisi saya paham pemerintah butuh meningkatkan ekonomi, namun keputusan itu betul-betul bisa mendatangkan keuntungan atau justru sebaliknya, bikin boncos di belakang? Untuk operasional pengerukan sampai ekspor memang ditangani oleh perusahaan yang mendapatkan proyek itu, namun pengawasannya bagaimana?
“Aktivitas itu dilakukan di laut, siapa yang akan memonitor. Kegiatan di laut itu membutuhkan biaya yang sangat besar, butuh peralatan (kapal, dll), juga diperlukan SDM yang mumpuni, SDM yang memahami laut. Sanggup tidak untuk membiayainya?” ujar Suyud.
“Kalau enggak dipantau secara memadai, secara tepat, saya khawatir condong ada pelanggaran, tidak ada pengelolaan lingkungan dengan baik, akan asal-asalan, dan cenderung akan berupa pengawasan formalitas. Belum lagi pengelolaan lingkungan setelah pengerukan, sanggup tidak?” Bukankah justru uang yang keluar bakal lebih banyak?” ujar Suyud.
Selain itu, Suyud juga mempertanyakan siapa saja yang bakal mendapatkan keuntungan. Dia pesimistis warga lokal bisa menikmati keuntungan dari ekspor pair laut itu. Berkaca yang sudah-sudah, nelayan justru kesulitan menangkap ikan.
“Siapa yang akan menikmati manfaat dari ekspor itu? Betulkah negara yang akan untung atau hanya kelompok tertentu? Masyarakat lokal jangan hanya dijadikan penonton dampak pembangunan, merekalah yang harus menjadi prioritas hasil pembangunan,” kata Suyud.
“Yang sudah-sudah, keuntungan ekonomi memang ada, namun kerugiannya berlangsung lama, kemiskinan nelayan dan masalah lingkungan berkepanjangan. Pembangunan yang dilakukan selama ini sudah banyak bikin lingkungan rusak, sudah nyata, apa masih kurang merusaknya,” ujar Suyud.
“Saat pengerukan sudah selesai, kerugian lingkungan, kemerosotan pendapatan nelayan karena tidak bisa menangkap ikan, lingkungan rusak pasti jauh lebih panjang. Sudah begitu dampak sosial juga akan berlangsung lebih panjang. Jangka pendek bisa jadi nelayan dapat kompensasi, namun apa akan mampu terus-menerus dilakukan dan itu tidak mendidik,” Suyud menegaskan.
Wisata Bisa Jadi Solusi Dapatkan Cuan Sekaligus Jaga Lingkungan
Suyud menawarkan satu solusi agar pemerintah bisa mendapatkan uang tunai kendati tidak lebih cepat ketimbang ekspor pasir laut. Yakni, melalui pariwisata berkelanjutan.
“Secara ekonomi, pertimbangan jangka pendek, wisata memang tidak lebih menguntungkan dibandingkan pasir dikeruk, tetapi memikirkannya bukan sesaat, bukan sesempit itu. Tetapi, bagaimana laut itu menjadi berdampak ekonomi jangka panjang dan masyarakat dilibatkan,” kata Suyud.
“Pengembangan pariwisata bisa menjadi jalan untuk mengedukasi masyarakat soal lingkungan, edukasi terumbu karang. manfaat biota laut. Laut dan pasirnya jangan cuma dilihat oh ini laut, oh ini pasir, bukan seperti itu. Tetapi, di sana ada potensi obat-obatan, kecantikan, pangan, juga wisata, dll,” Suyud membeberkan.
“Laut kita memiliki potensi non pasir yang banyak. Banyak sekali. Kita punya banyak peneliti, akademisi, referensi juga mudah dicari,” dia menegaskan.
Kawasan yang Dikeruk
Dikutip dari BBC Indonesia, Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Doni Ismanto, mengatakan ekspor pasir laut hanya dilakukan dengan syarat kebutuhan material di dalam negeri sudah tercukupi dan tidak menurunkan daya dukung serta daya tampung ekosistem pesisir.
Dia bersikukuh agar “pembersihan sedimentasi laut” jangan diframing sebagai kawasan pengambilan pasir. Apalagi, diasosiasikan dengan aktivitas ekspor pasir laut.
“Tujuan dari pembersihan sedimentasi di laut ada dua, yaitu peningkatan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir,” kata Doni.
Untuk pengerukan pasir laut itu, KKP telah menetapkan tujuh lokasi di antaranya Kabupaten Demak, Kota Surabaya, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Indramayu. Kemudian, Kabupaten Karawang, perairan sekitar Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan, serta perairan di sekitar Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.
(fem/fem)