Boone –
Pasca badai Helene menerjang, warga di kota Boone, Carolina Utara, Amerika Serikat sedih bukan kepalang, karena mereka tak bisa menghasilkan pendapatan.
Warga Boone menggantungkan pendapatan mereka dari sektor pariwisata. Pada hari-hari setelah badai Helene menghancurkan sebagian besar wilayah barat Carolina Utara, beberapa pemilik toko di pusat Kota Bone harus melakukan pembersihan.
Warga pun masih tak yakin bisa membuka kembali bisnis mereka dalam waktu dekat. Melansir Associated Press, Sabtu (5/10/2024) situasi ini menjadi masalah kritis bagi wilayah tersebut.
Itu karena sebagian besar penduduk yang berkisar 19.000 jiwa itu bergantung pada sektor pariwisata, terutama pada saat musim gugur.
Salah satu pemilik bisnis di daerah tersebut yang terdampak badai adalah Freddie Pell. Ia mengembalikan barang-barangnya ke dalam galeri yang terhempas hingga ke jalan.
Di dalam ruang galerinya yang dipenuhi dengan lumpur, ia pun menggunakan alat sekop untuk mengeluarkan lumpur itu.
“Beruntungnya sebagian besar karya seni kami dipajang di dinding,” ujar Pell.
Seperti banyak kota yang tersebar di Pegunungan Blue Ridge, Boone dipadati pengunjung yang ingin menyaksikan rintik-rintik warna cerah dari daun musim gugur yang berubah warna pada bulan Oktober. Banyak wisatawan yang datang ke wilayah tersebut untuk menonton pertandingan di Appalachian State University (ASU).
Dengan banyaknya wisatawan yang berkunjung di masa itu mendatangkan jutaan dollar bagi kota tersebut dan juga berdampak ke wilayah lainnya. Namun, usai badai Helene menerjang, semua keuntungan pendapatan itu masih diragukan.
Banyak penduduk tidak memiliki listrik atau layanan seluler, beberapa jalan pun tergenang air membuat warga terjebak dan terpaksa mencari jalan keluar lain. Petugas layanan darurat di sana pun bekerja tanpa henti untuk menyelamatkan orang-orang.
Akses menuju Kota Boone yang berkelok-kelok dijatuhi oleh pohon-pohon sehingga menghalangi sepanjang jalan. Di beberapa tempat pun kabel listrik tumbang seperti ketapel. Dan di jalan utama menuju pusat Kota Boone yakni King Street, jalanan yang kotor dan berlumpur menandakan derasnya badai yang menerjang.
Warga lainnya yang memiliki bisnis restoran adalah Paul Tuttle, dengan keadaan yang buruk itu ia tetap membuka restorannya. Tuttle berasal ingin tetap buka untuk para korban badai yang membutuhkan makanan hangat.
“Saya tidak tahu apakah ada orang yang ingin datang ke sini jika biasanya mereka datang untuk melihat salah satu tempat tercantik di seluruh Amerika Serikat, kini mereka datang untuk melihat kehancuran,” terang Tuttle.
Oktober adalah bulan terburuk dalam setahun bagi Lililu on King, sebuah butik pakaian di pusat kota Boone yang masih utuh. Menurut manajernya, Kim Greene, pada hari Senin, toko tersebut tidak dapat mengakses internet untuk menjalankan mesin kasir, sehingga Greene dan karyawan Sarah Jackson menghabiskan waktu mengemas barang-barang obral untuk disumbangkan kepada korban badai.
Namun, masih ada ketidakpastian mengenai kapan mereka dapat kembali beroperasi dan apakah akan ada cukup karyawan untuk menjalankan toko.
Beberapa toko seperti Lililu on King sebagian besar mempekerjakan mahasiswa dari Appalachian State University, yang tidak memiliki kelas setidaknya hingga hari Jumat.
Dengan banyak mahasiswa yang pulang ke rumah, pemilik toko harus berjuang tanpa mereka untuk saat ini.
“Itu tergantung pada kita berdua, jika kita benar-benar bisa buka lagi dan kita mampu melakukannya,” kata Greene.
Universitas Appalachian yang memiliki lebih dari 20.000 mahasiswa terlihat sepi pada hari Senin dan Arena Holmes Convocation Center telah dialihfungsikan menjadi tempat penampungan darurat Palang Merah.
Dengan sumbangan yang menumpuk di luar pintu masuk, beberapa mahasiswa yang tinggal di apartemen di luar kampus kehilangan tempat tinggal akibat banjir.
Mahasiswa tahun kedua ASU berusia 19 tahun, Aidan Mullane, meragukan kelas akan kembali dibuka semester ini. Ia menerima email pada hari Senin dari seorang profesor yang mengabarkan bahwa rumah mereka mengalami kerusakan, sehingga membatasi kemampuan mereka untuk merespons mahasiswa. Mullane menyatakan banyak profesor lainnya juga menghadapi masalah serupa.
“Saya tidak tahu harus ke mana lagi. Jika para profesor tidak bisa tinggal di sini, apa yang harus dilakukan?,” keluhnya.
(wsw/wsw)